Ki Hajar dewantara
Nama: Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Lahir: 2 Mei 1889
Meninggal: 28 April 1959
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan
Soewardi Soerjaningrat merupakan putra dari GPH Soerjanirat dan merupakan cucu dari Pakualam III. Beliau menyelesaikan pendidikan dasar di ELS atau Sekolah Dasar Eropa/Belanda, Selanjutnya beliau sempat meneruskan pendidikan ke STOVIA atau Sekolah Dokter Bumiputera namun tidak tamat karena sakit.
Kemudian beliau bekerja sebagai wartawan dan penulis dibeberapa surat kabar seperti De Express, Poesara, Midden Java, Oetoesan Hindia, Sediotomo, Kaoem Moeda dan Tjahaja Timoer. Beliau merupakan penulis handal yang tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial pada masanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda yang ulet, Soewardi juga aktif dalam organisasi pada bidang sosial politik. Beliau aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan serta menggugah kesadaran masyarakat Indonesia terutama yang berada di Jawa mengenai persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara pada waktu itu di organisasi pemuda Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908.
Selain itu beliau juga pernah menjadi anggota dari organisasi Insulinde yaitu suatu organisasi multiteknik yang didominasi oleh kaum indo untuk memperjuangkan pemerintahan sendiri di HIndia Belandaatas pengaruh dari Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Soewardi juga diajak Douwes Dekker dan juga Tjipto Mangunkusumo untuk mendirikan Indische Partij yaitu sebuah partai politik pertama di Hindia Belanda.
Pada tahun 1913 untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari Perancis, pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga termasuk pribumi. Namun hal tersebut menimbulkan reaksi kritis dari kalangan nasionalis termasuk Ki Hadjar Dewantara dengan menulis”Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau yang dalam bahasa Indonesia berarti “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”.
Selain tulisan tersebut kolom beliau yang paling terkenal adalah “Als ik een Nederlander was” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar De Expres. Berikut adalah kutipan tulisan tersebut:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.
Akibat tulisan tersebut Soewardi ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka atau permintaan beliau sendiri. Namun kedua rekannya dalam tiga serangkai yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo memprotes hal tersebut dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda. Kala pengasingan tersebut Soewardi baru berusia 24 tahun.
Selama dalam pengasingan Soewardi di Belanda, Beliau aktif dalam organisasi Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia yang beranggotakan para pelajar asal Indonesia. Beliau kemudian merintis cita-cita untuk memajukan kaun pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga mendapatkan Europeesche Akta (Ijazah pendidikan).
Pada September 1919, beliau kembali ke indonesia dan bergabung dengan sekolah binaan saudaranya. Dengan pengalaman mengajar tersebut beliau mengembangkan konsep mengajar pada sekolah yang didirikannya yaitu Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Soewardi mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara pada saat genap berumur 40 tahun menurut perhitungan penanggalan jawa.
Ki Hadjar Dewantara memiliki semboyan menggunakan bahasa Jawa dalam sistem pendidikan yang dipakainya yaitu “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” atau dalam bahasa Indonesia berarti “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”. Semboyan tersebut hingga kini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (sekarang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) yang pertama dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Beliau juga mendapat gelar doctor honoris causa, Dr.H.C. atau doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957.
Ki Hadjar Dewantara wafat pada 26 April 1959 di Yogyakarta dan kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Untuk mengenang jasa beliau dalam merintis pendidikan umum, pada tanggal 28 November 1959 beliau didaulat sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia serta hari kelahirannya dinyatakan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959.